Oleh: Adriana Ance, Mahasiswi FH Unipa Maumere. Saat ini bekerja di Yayasan Flores Children Development Mitra Childfund Indonesia
JN NEWS, SIKKA– Di tengah euforia peralihan kekuasaan yang diharapkan membawa kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat, berita mengenai penetapan tersangka atas kasus dugaan korupsi di PT. Timah Tbk telah mengguncang harapan tersebut. Kasus ini menyoroti seriusnya tantangan dalam pengungkapan dan penindakan korupsi di Indonesia.
Menurut pemberitaan, beberapa tersangka telah ditetapkan atas dugaan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dalam pengelolaan timah pada wilayah izin usaha pertambangan PT. Timah Tbk, yang diduga terjadi sejak tahun 2015 hingga 2022. Kerugian negara akibat tindakan ini diperkirakan mencapai Rp. 271 triliun, dana yang seharusnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat.
Gambaran indeks korupsi serta kasus dugaan korupsi 271 triliun yang terjadi diatas membutuhkan penanganan serius dari aparatur penegak hukum untuk memberdayakan seluruh instrument hukum yang ada dalam mengungkap kasus korupsi yang terjadi di Indonesia, antara lain memaksimalkan peran Justice Collaborator (JC) yang telah di atur dalam peraturan perundang – undangan.
Korupsi dan Dampaknya
Dalam ilmu hukum pidana, Pasal 2 UU No. 31/1999, yang direvisi dengan UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa korupsi adalah “setiap orang yang secara melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Korupsi merupakan kejahatan yang memiliki dampak yang luas dan merugikan bagi masyarakat serta pembangunan negara. Dampaknya meliputi penghambatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan sumber daya publik yang seharusnya untuk kepentingan umum, ketidaksetaraan dalam distribusi kekayaan, dan merusak kepercayaan publik terhadap lembaga pemerintahan.
Pemberantasan korupsi memerlukan tindakan luar biasa yang melibatkan berbagai aspek, termasuk reformasi hukum dan kebijakan, penguatan lembaga penegak hukum, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, serta partisipasi aktif masyarakat dalam pengawasan dan pencegahan korupsi. Langkah-langkah ini perlu diimplementasikan secara komprehensif dan konsisten untuk menciptakan lingkungan yang bersih dari korupsi dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan serta kesejahteraan masyarakat.
Gambaran pemberantasan harus dilakukan secara luar biasa karena dampak dari kejahatan korupsi sangat luas, sebagaimana uraian UU No. 20 Tahun 2001 pada konsiderans menimbang huruf a “bahwa tindak pidana yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas sehingga tindak pidana korupsi perlu di golongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa” serta dalam konsiderans United Nations Concention Against Corruption (UNCAC) 2003 yang telah diratifikasi dengan UU No. 7/2006, yang mempertegas bahwa korupsi sebagai kejahatan luar biasa harus diperangi karena menimbulkan dampak yang masif bagi kehidupan negara.
Tindak pidana korupsi merupakan kelompok “kejahatan kerah putih”, yaitu kejahatan yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan dan kedudukan penting dalam institusi negara.
Hal ini menunjukkan bahwa korupsi biasa dilakukan oleh orang-orang yang cerdas, orang-orang yang mengerti seluk-beluk keuangan dan birokrasi dalam institusinya, dan untuk menutupi perilakunya, para pelaku cenderung akan membuat sebuah skenario yang rapi, berantai dan terorganisir dan sulit diidentifikasi oleh aparatur penegak hukum, baik pada tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga pada proses pemeriksaan di persidangan.
Rentetan pertanyaan sederhana yang lahir kemudian adalah : Bagaimana peran pemerintah dan KPK dalam mengungkap tindak pidana korupsi di Indonesia?, Apakah pemberantasannya yang harus dilakukan secara luar biasa tidak hanya karena dampaknya yang masif dan melanggar hak sosial dan ekonomi masyarakat tetapi tindakan korupsi yang rapih, berantai dan terorganisir merupakan korupsi berantai yang apabila diusut akan menyeret nama-nama pejabat golongan kerah putih sebagai tersangka?, Apakah agar dapat mengungkap kasus korupsi perlu menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan informasi yang sedetail mungkin tanpa ada manipulatif dari orang yang memberi keterangan untuk membatasi “hak menyangkal” tersangka dalam penyidikan maupun terdakwa dalam persidangan?
Justice Collaborator
Istilah Justice Collaborator (JC) menjadi perhatian karena dianggap akan membuka sebuah tabir kejahatan yang sulit diungkap.
Justice Collaborator (JC) adalah sebutan bagi saksi pelaku yang bekerjasama dengan aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana tertentu atau secara sederhana adalah pelaku kejahatan yang memberikan “keterangan dan bantuan” kepada para penegak hukum.
Peran Justice Collaborator (JC) antara lain : Mengungkap suatu tindak pidana atau akan terjadi suatu tindak pidana sehingga dapat dicapai pengembalian asset kepada negara dari suatu tindak pidana, Memberikan informasi kepada penegak hukum dan memberikan kesaksian dalam proses persidangan akan memperoleh penghargaan yang dapat berupa : Penjatuhan pidana percobaan bersyarat khusus, Pemberian remisi dan asimilasi, Pembebasan bersyarat, Penjatuhan pidana paling ringan di antara terdakwa lain yang terbukti bersalah.
Di Indonesia, instrument hukum yang mengatur tentang Justice Collaborator (JC) atau “Saksi Pelaku” di atur dalam : UU No. 13/2006 yang telah di ubah dengan UU No. 31/2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban; Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, Ketua LPSK No.M.HH-11.HM.03.02,PER-045/A/JA/12/2011 Tentang Perlindungan Bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku Yang Bekerja Sama (Peraturan Bersama Perlindungan Saksi) serta Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4/2011 tentang perlakuan bagi pelapor tindak pidana (Whistle Blower) dan saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) di dalam perkara tindak pidana tertentu.
Eksistensi Justice Collaborator (JC) secara tegas di atur pada : didasari oleh Pasal 1 angka 2 UU No.31/2014 : “Saksi pelaku adalah tersangka atau terdakwa atau terpidana yang bekerjasama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama”; Pasal 1 angka 3 Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, Ketua LPSK No.M.HH-11.HM.03.02,PER-045/A/JA/12/2011 : “saksi pelaku yang bekerja sama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum mengungkap suatu tindak pidana untuk mengembalikan aset atau hasil suatu tindak pidana kepada negara dengan memberikan informasi kepada aparat penegak hukum dan memberikan kesaksian dalam persidangan”; serta angka 9 SEMA No. 4/2011 : seorang Justice Collaborator (JC) didasarkan pada klasifikasi :
1. orang yang bersangkutan merupakan pelaku tindak pidana tertentu, mengakui kejahatan yang di lakukan, bukan pelaku utama, serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam persidangan,
2. JPU dalam tuntutannya menyatakan bahwa yang bersangkutan telah memberikan keterangan dan bukti-bukti yang sangat signifikan sehingga penyidik/penuntut umum dapat mengungkap tindak pidana di maksud secara efektif, mengungkap pelaku lainnya yang memiliki peran lebih besar dan mengembalikan aset/hasil suatu tindak pidana”.
Justice Collaborator dalam konteks Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No.4/2011 sebagai jaminan hak atas peran Justice Collaborator (JC) maka hakim yang memeriksa perkara diminta untuk menjatuhkan putusan pidana percobaan bersyarat atau pidana penjara yang paling ringan dengan mempertimbangkan keadilan dalam masyarakat.
Jaminan pemenuhan hak Justice Collaborator (JC) secara tegas diatur dalam Pasal 10 UU No.31/2014 Tentang Perubahan Atas UU No.13/2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban :
(1) Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/ataulaporan yang akan, sedang,atau telah diberikannya,kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik.
(2) Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Keberadaan Justice Collaborator (JC) yang telah di atur dalam instrument hukum di atas membutuhkan koordinasi dan kerjasama antar lembaga penegak hukum untuk benar- benar di implementasikan dalam rangka mengungkap kasus-kasus korupsi sebagai sebuah kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa termasuk memberikan jaminan dan perlindungan hukum secara “luar biasa” terhadap Justice Collaborator sebagaimana yang telah di atur dalam instrumen-instrumen hukum yang ada.
Keberadaan Justice Collaborator bukan sarana negoisasi narapidana, sehingga sangatlah wajar apabila Justice Collaborator mendapatkan penghargaan atas keberaniannya mengungkap kejahatan korupsi yang diwujudkan dengan pemberian keringanan pemidanaan dan perlindungan.
Kini, apa esensi dari mempidana seorang koruptor dengan berat tetapi keseluruhan dari jejaring pelakunya tidak terungkap? Maka, JC merupakan salah satu langkah konkrit yang bisa dilakukan agar bisa terungkapnya kasus korupsi hingga keakar-akarnya.