Penulis: Marten Kilibatu
JEJAK NEGERI NEWS – Di sebuah desa kecil di Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur di mana tradisi dan budaya Merapu masih hidup dan bernafas, aku menemukan cinta dalam benang-benang tenunan. Pagi itu, matahari mengintip malu-malu dari balik bukit, memancarkan sinar keemasan yang memeluk lembah-lembah hijau dan memandikan desa dengan cahaya hangat.
Aku sedang berdiri di tepi ladang, menikmati aroma tanah basah setelah hujan semalam, ketika aku melihatnya untuk pertama kali. Dia duduk di bawah pohon rindang, jemarinya yang halus bergerak lincah, menenun kain dengan motif yang memukau. Setiap benang yang ia rangkai tampak seperti melodi yang menari di udara, menciptakan simfoni warna yang tak terlukiskan.
Baca juga: https://jejaknegeri.news/opini/menggenggam-idealisme-wartawan-di-tengah-badai-zaman/
Namanya Rambu Febiola, seorang wanita dari suku Merapu yang anggun dan penuh pesona. Ia mengenakan kain tenunan sendiri, yang membalut tubuhnya dengan elegan, menambah aura magis yang mengelilinginya. Rambu Febiola bukan hanya sekedar penenun; ia adalah penjaga tradisi, penerus warisan nenek moyang yang telah ada sejak berabad-abad lalu.
Aku terpesona, bukan hanya oleh kecantikan fisiknya, tetapi juga oleh ketekunan dan keahliannya. Setiap kali benangnya menyentuh alat tenun, aku bisa merasakan cinta dan dedikasi yang ia curahkan ke dalam setiap karyanya. Kain tenunan itu bukan sekadar hasil kerajinan, melainkan simbol dari identitas dan kebanggaan suku Merapu.
Hari demi hari, aku selalu mencari-cari alasan untuk bisa melihatnya bekerja. Ada magnet yang tak terjelaskan yang menarikku ke arahnya. Aku ingin mengenalnya lebih dekat, mendengar suaranya, mengetahui cerita-cerita yang ia simpan dalam hatinya.
Suatu hari, keberanian mengalahkan keraguanku. Aku mendekatinya dengan senyum malu-malu.
“Selamat pagi, Rambu Febiola,” sapaku.
Ia menoleh dan tersenyum. Senyum yang membuat jantungku berdebar lebih kencang. “Selamat pagi,” balasnya lembut. “Kau suka menenun?”
Aku mengangguk. “Aku sangat mengagumi hasil karyamu. Setiap motif yang kau buat tampak hidup dan penuh cerita.”
Rambu Febiola tersenyum lebih lebar. “Setiap motif memang memiliki makna dan cerita. Ini adalah cara kami berkomunikasi dengan leluhur dan alam sekitar.”
Baca juga: https://jejaknegeri.news/opini/meniti-karir-yang-tak-semua-orang-suka/
Sejak pertemuan pertama itu, kami sering berbincang. Aku belajar banyak tentang kehidupan suku Merapu, tentang makna setiap motif tenunan, dan tentang cinta yang tersembunyi di balik setiap helai benang. Cinta yang tulus, murni, dan penuh pengabdian.
Di antara tawa dan cerita, aku menemukan diriku semakin terpikat oleh Rambu Febiola. Bukan hanya sebagai seorang penenun, tetapi sebagai seorang wanita dengan hati yang luas dan jiwa yang kuat. Aku jatuh cinta pada kekuatannya, kelembutannya, dan caranya memandang dunia dengan penuh harapan.
Pada suatu senja yang indah, di bawah langit Sumba yang merah jingga, aku menyatakan perasaanku. “Rambu Febiola, aku tak hanya mengagumi tenunanmu, tapi juga dirimu. Aku mencintaimu.”
Ia menatapku dengan mata yang bersinar seperti bintang-bintang. “Cinta adalah benang yang mengikat jiwa kita bersama,” katanya lembut. “Aku juga mencintaimu.”
Di tanah Merapu yang penuh keajaiban, aku menemukan cinta sejati dalam benang-benang tenunan dan dalam hati seorang wanita yang luar biasa. Rambu Febiola, bukan hanya penenun kain, tetapi juga penenun cinta di hatiku.(*)
-Penulis adalah wartawan Harian Times Indonesia, Redaktur Pelaksana Jejak Negeri News-